Setelah berhasil menguasai keadaan kurang dari 48 jam, Suharto segera melancarkan operasi untuk menghancurkan PKI dan para pengikutnya.
Angkatan Darat menimpakan seluruh kesalahan G 30 S yang dilakukan oleh sekelompok tentara tersebut kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Tentara menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) berada di belakang G 30 S yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintah. Hal ini memicu pembersihan anti-komunis dan pembunuhan massal terbesar di Indonesia saat ini.
Pada minggu ketiga Oktober 1965, pesta pora kekerasan - termasuk penangkapan, penyiksaan dan pembantaiann - dimulai di Jawa Tengah, diikuti oleh Jawa Timur pada bulan November, dan berlanjut pada bulan Desember di Pulau Bali.
Sejumlah anggota militer Indonesia menangkap dan membawa belasan pemuda yang diduga menjadi anggota PKI di Jakarta, 10 Oktober 1965. |
Sejak Oktober 1965 hingga pertengahan 1966, diperkirakan sekitar lima ratus ribu orang hingga 3 juta orang yang dituduh memiliki afiliasi dengan PKI atau ormas-ormasnya dibunuh, entah oleh kelompok-kelompok sipil bersenjata yang didukung militer atau oleh militer itu sendiri; sementara, lebih dari satu juta orang dipenjarakan tanpa pengadilan dengan jangka waktu mulai dari beberapa tahun hingga 20 tahun.
Korban tewas dalam pembunuhan massal tahun 1965-1966 mencapai tiga juta orang.
(Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sarwo Edhi Wibowo, Eks Komandan RPKAD)
Bulletin Tapol (No. 80, April 1987) mencatat ada sebanyak 1.375.320 orang yang dikategorikan ke dalam Golongan C (kelompok yang “diindikasikan memiliki hubungan dengan PKI”) ditahan selama kurang dari 10 tahun; sebanyak 34.587 orang yang dikategorikan ke dalam Golongan B (mereka yang memiliki indikasi punya hubungan dengan “Gerakan 30 September”) ditahan selama lebih dari sepuluh tahun; dan 426 orang yang dikategorikan ke dalam Golongan A (mereka yang “terlibat dalam Gerakan 30 September”) diadili, sebagian dijatuhi hukuman mati dan sisanya dipenjarakan seumur hidup.
Anggota militer sedang memberikan briefing operasi pembasmian PKI kepada anggota milisi di Jawa Tengah, 1965 (Kredit: Perpusnas) |
Seorang filsuf Inggris Betrand Russel menilai korban pembantaian massal 1965-1966 jauh lebih banyak dari jumlah perang Vietnam selama 12 tahun.