Suatu malam, lewat mimpi Malaikat Jibril mendatangi Soeharto. Jibril mengatakan pada Harto, bahwa waktunya sudah tiba untuk segera meninggalkan dunia.
“Kamu sudah terlalu lama berkuasa,” ujar Jibril.
Soeharto pun minta waktu untuk mempersiapkan diri. Ia ingin membagikan warisannya yang sangat banyak kepada anak-anaknya secara adil. Keesokan harinya ia mengumpulkan seluruh anak cucunya. Turut menyaksikan adalah sejumlah pejabat tinggi negara yang dekat dengan kalangan keluarga.
“Begini, saya akan segera mati. Saya ingin mewariskan apa yang saya miliki kepada kalian semua. Tolong sebutkan satu-persatu permintaan kalian,” ujar Soeharto.
“Ayahanda, saya minta semua jalan tol, stasiun televisi, vaksin polio dan...,” pinta Tutut.
“Ayahanda, saya minta tempat judi terbesar di dunia dan semua tambang minyak,” pinta anak ke dua, Sigit.
“Ayahanda, saya minta stasiun televisi, monopoli plastik, ponsel, satelit, dan ...,” ucap Bambang.
“Ayahanda, saya minta jembatan, bank, reksadana, galeri, dan...,” ucap Titiek.
“Ayahanda, permintaan saya tak banyak. Saya cuma minta hak monopoli cengkeh, mobil nasional, supermarket, sirkuit balap, tanker, pesawat terbang, LNG, dan ... dan ...,” pinta Tommy yang merupakan anak kesayangan.
Harto meminta agar para pejabat tinggi mencatat semua permintaasn anak-anaknya secara rinci. Tapi rupanya belum semua anak Soeharto menerima warisan. Si anak bungsu, Mamiek, belum mengajukan permintaan apa pun. Sedari awal pertemuan ia tampak hanya menundukkan mukanya. Wajahnya memerah, malu-malu.
Soeharto yang tak tahan dan ingin mengetahui permintaan anak bungsu yang paling dicintai almarhumah istrinya itu lantas bertanya, “Anakku yang paling ayu, ayo, jangan sungkan-sungkan. Semua kakakmu sudah mengajukan permintaan. Permintaanmu sendiri apa?”
Mamiek tak menjawab. Sambil menundukkan wajahnya, ia hanya menggigit-gigit kukunya. Dan ketika didesak, Mamiek hanya bilang, “Ah...malu, Pak.”
“Oalah Nduk, sebutkan semua permintaanmu niscaya semuanya aku kabulkan. Tapi jangan minta yang satu itu. Yang itu aku sudah tak punya,” ujar Soeharto.