View AllPeristiwa 1965

Petrus

Tj Priok

Postingan Terbaru

Senin, 06 Mei 2024

Peristiwa Talangsari Lampung Menewaskan 130 Orang

 

Aksi protes korban Peristiwa Talangsari di depan Istana Negara (Dok. Tempo)

Peristiwa Talangsari 1989 adalah kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 7 Februari 1989. Nama Talangsari diambil dari tempat terjadinya peristiwa ini. Talangsari adalah sebuah dusun di Desa Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Timur.

Peristiwa Talangsari terjadi karena penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Saat itu, pemerintah, polisi, dan militer menyerang masyarakat sipil di Talangsari.

Catatan Komnas HAM, Peristiwa Talangsari menewaskan 130 orang, 77 orang dipindahkan secara paksa atau diusir, 53 orang haknya dirampas secara sewenang-wenang, dan 46 orang mengalami penyiksaan. Jumlah korban secara pasti tidak diketahui hingga saat ini.

Selanjut klik di sini


Jumat, 03 Mei 2024

100.000-500.000 orang Papua Terbunuh Sejak Diambilalih Indonesia

 

Ilustrasi: aksi protes mahasiswa Papua (Dok: Kompas)

Pengamat-pengamat konflik Papua memperkirakan antara 100.000 hingga 500.000 orang Papua Barat telah terbunuh sejak Indonesia mengambil alih Papua Barat pada 1960-an.

Jumlah pembunuhan memuncak pada 1970-an, namun angka ini meningkat lagi karena aktivisme baru untuk kemerdekaan di wilayah itu. Pada September 2019, sebanyak 41 orang terbunuh dalam bentrokan dengan pasukan keamanan dan milisi yang terinspirasi oleh kelompok jihadis.

Terkait dengan kekerasan di Papua, laporan berjudul "Stop Sudah! Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM 1963-2009" yang diterbitkan pada 2010 mencatat berbagai operasi militer yang dilakukan di Papua mulai 1963 sampai 2004. Operasi itu adalah Operasi Wisnumurti I dan II (Mei 1963-April 1964); Wisnumurti II dan IV disambung Oprasi Giat, Operasi Tangkas dan Operasi Sadar (1964-1966), kemudian Operasi Baratayudha (1966); Operasi Sadar dan Operasi Baratayudha dan Wibawa (1968); hingga Operasi Pamungkas (1970-1974).

Operasi militer selanjutnya adalah Operasi Kikis (1977-1978); Operasi Sapu Bersih (1978-1982); dan Operasi Sate (1984). Tahun berikutnya dilakukan Operasi Gagak I (1985-1986; Operasi Gagak II (1986-1987); Operasi Kasuari I dan II (1987-1989); dan Operasi Rajawali I dan II (1989-1991). Setelah itu, diterapkan operasi pengamanan daerah rawan (1998-1999); operasi pengendalian pengibaran Bintang Kejora (1999-2002); dan operasi penyisiran di Wamena (2002-2004).


Selanjutnya baca:
https://theconversation.com/penelitian-baru-petakan-kekerasan-dalam-konflik-yang-terlupakan-di-papua-barat-139223
https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/04/13/sejarah-kekerasan-di-tanah-papua-lorong-tak-berujung


Kamis, 02 Mei 2024

10.000-30.000 Orang Tewas Akibat Konflik di Aceh

 


Konflik terkait separatisme di Aceh terjadi antara tahun 1976-2005 dan mulai berlangsung secara masif dengan ditetapkannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989. Laporan Amnesty International (2013) merilis, setidaknya 10.000 hingga 30.000 orang tewas akibat konflik di Aceh, sebagian besar adalah warga sipil. Dalam laporan yang dikeluarkan oleh organisasi yang sama beberapa tahun sebelumnya, tercatat lebih dari 50 orang diadili dan dihukum penjara 13 hingga 20 tahun atas tuduhan subversi.


Sementara catatan Forum Peduli HAM Aceh yang dipublikasikan pada 1999 mencatat korban tewas selama Daerah Operasi Militer (DOM) 1989-1998 mencapai sebanyak 1.321 orang. Sebanyak 1.958 orang hilang dan 3.430 orang mengalami penyiksaan. Ada juga 128 kasus perkosaan dan 597 kasus pembakaran.

Penyelidikan Komnas HAM yang dilakukan pada Juli–Agustus 1998 menyimpulkan bahwa telah terjadi 781 kasus pembunuhan di luar proses hukum, 163 kasus penghilangan paksa, dan 102 kasus pemerkosaan. Kekerasan serupa juga dilakukan oleh para anggota GAM, khususnya kepada mereka yang dituduh menjadi kolaborator atau informan pemerintah Indonesia (dikenal dengan istilah lokal cuak).

Sementara Tim Pencari Fakta untuk kasus kekerasan di Aceh yang dibentuk oleh DPR RI mengeluarkan laporan pada Oktober 1998, yang menyebutkan bahwa selama periode DOM telah terjadi 420 kasus penghilangan paksa dan 320 kasus pembunuhan di luar proses hukum.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh menemukan bahwa pada periode konflik (4 Desember 1976–15 Agustus 2005), aparat keamanan Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM sistematis dalam skala yang masif dan secara meluas terhadap masyarakat sipil. 

Dari ribuan kesaksian yang terkumpul, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran HAM yang terjadi mencapai titik batas (threshold) yang ditetapkan hukum hak asasi manusia internasional tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Komisi juga menemukan bahwa pertanggungjawaban moral, institusional, maupun pertanggungjawaban individu berada pada aparat keamanan Indonesia yang telah melakukan pembunuhan yang tidak sah dan bertentangan dengan hukum, penghilangan paksa, penyiksaan, dan kekerasan seksual selama periode konflik, dengan
impunitas yang hampir total.

Dari 10.652 kasus pelanggaran HAM yang telah dilaporkan pada KKR Aceh, hanya sebagian kecil yang menyebutkan anggota GAM sebagai pelaku, yaitu, hanya 100 kasus (9 persen) dari 1.143 kasus pembunuhan dan 109 kasus (3 persen) dari total 3.355 kasus penyiksaan. Artinya, hanya sekitar 2 persen dari total hitungan pelanggaran HAM yang dilaporkan pada KKR Aceh yang menyatakan pihak GAM sebagai pelaku.


Lebih lanjut kunjungi tautan berikut:

https://kkr.acehprov.go.id/download

https://www.amnesty.org/en/documents/asa21/001/2013/id/


Selasa, 30 April 2024

Peristiwa Tanjung Priok Telan Korban 24 Orang Tewas

 


Peristiwa Tanjung Priok merupakan kasus bentrok antara militer dan masyarakat Tanjung Priok pada 1984. Bentrokan militer bersenjata melawan rakyat biasa ini dianggap sebagai peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia pada masa Orde Baru. 

Dalam peristiwa itu, sebanyak 24 orang tewas dan 55 korban lainnya luka-luka.
 
Sementara itu, menurut investigasi Solidaritas Nasional atas peristiwa Tanjung Priok (Sontak) jumlah korban tewas mencapai 400 orang. Selain itu, 160 orang yang dicurigai berkaitan dengan peristiwa tersebut ditangkap oleh militer tanpa prosedur jelas dan tanpa surat perintah dari atasan.

Selanjutnya klik di sini

Senin, 29 April 2024

Orde Baru Membantai Lebih dari 200.000 Penduduk Timor Timur

 

Operasi Seroja 1975 (Sumber: Intisari)

Selama 24 tahun pendudukan Indonesia. 200.000 sampai 250.000 orang, atau sekitar sepertiga jumlah penduduk Timor Timur tewas akibat perang, akibat kelaparan dan penyakit, juga akibat teror brutal yang dilancarkan tentara Indonesia. 

Tahun 1999, milisi Indonesia membunuh sekitar 1.500 orang. Meskipun demikian, penderitaan jiwa dan raga yang menimpa warga Timor Leste itu, tidak sedikitpun mengurungkan niat mereka untuk merdeka.

Banyak keluarga yang dipaksa berpisah dengan sanak saudaranya, yang menanggung derita kehilangan sejumlah orang yang dicintai dan/atau dipaksa melakukan tindakan brutal.

Pemerkosaaan terhadap anak perempuan dan wanita kerap dilakukan di depan mata keluarga atau penghuni desa. Banyak warga yang mengalami guncangan jiwa setelah dibebaskan dari ruang penyiksaan. Bahkan, banyak juga warga yang „dihilangkan”, atau dengan kata lain dieksekusi secara ilegal. 

Di Timor Timur, Indonesia berhasil menciptakan iklim teror dan ketakutan. Secara konsekwen aparat keamanan Indonesia melancarkan politik „devide et empire”, memecah belah dan menjajah penduduk setempat. 

Selanjutnya klik di sini.


Baca juga: 

Melalui Dokumen Rahasia Ini, Terungkap Tentara Indonesia yang Dituduh Membantai 200.000 Penduduk Timor Leste, Ternyata Hanya 'Alat' yang Dikendalikan Oleh Amerika



Korban Penembakan Misterius (Petrus) 1980an Mencapai 10.000 Jiwa

 




Penembakan Misterius atau sering disingkat Petrus merupakan salah satu peristiwa kelam yang terjadi di Era Orde Baru. Sebagaimana dirangkum dari berbagai sumber, Petrus merupakan peristiwa penembakan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai preman atau gali di beberapa penjuru daerah.

Orang-orang yang menjadi korban Petrus biasanya akan dibiarkan tergeletak di tengah jalan atau di bawah jembatan sehingga publik dapat menyaksikan sendiri kejamnya peristiwa tersebut. Selain dibiarkan tergeletak, beberapa korban lainnya justru disembunyikan dan hingga kini tidak diketahui nasibnya. 

Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yosep Adi Prasetyo saat itu, pada 2012, mengatakan jumlah korban dari peristiwa penembakan misterius pada 1982 sampai 1985 mencapai 10 ribu orang.

Selanjutnya klik di sini


G30S 1965: Terungkap, Kedekatan Soeharto dan Letkol Untung

 

Amaroso Katamsi, yang berperan sebagai Suharto, dalam film G30S/PKI. Dok. TEMPO


Untung Sjamsuri, salah satu tokoh penting dalam Gerakan 30 September 1965. Orang biasa mengenalnya sebagai Letnan Kolonel (Letkol) Untung yang bertugas sebagai Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa. Peran Letkol kelahiran Kedungbajul, Kebumen, Jawa Tengah pada 3 Juli 1926 adalah sebagai pemimpin penculikan yang ditengarai orang dekat Soeharto.

Dari penelusuran Tempo, sejak umur 18 tahun, Untung diketahui sudah masuk ke dalam dinas kemiliteran di Heiho, kesatuan militer bentukan tentara pendudukan Jepang. Setelah Jepang kalah, Untung masuk Batalion Sudigdo, yang markasnya berada di Wonogiri. Batalion inilah yang disebut-sebut terlibat dalam aksi pemberontakan Partai Komunis Indonesia 1948, yang dipimpin oleh Musso.

Selanjutnya klik di sini